Selasa, 27 Desember 2011

HAL-HAL YG MEMBATALKAN SYAHADATAIN

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SYAHADATAIN

1. Bertawakkal dan bergantung kepada selain Allah SWT

Berdasarkan firman Allah SWT,
“…Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman.”                                                                                                                                      (Al Maidah: 23)
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di beberapa banyak tempat dan peperangan Hunain, tatkala kamu sombong dengan banyaknya kamu, tetapi tidak berfaedah bagi kamu sedikitpun, dan (jadi) sempit bagi kamu bumi yang luas itu, kemudian kamu berpaling sambil mundur.”                                          (At Taubah: 25)
Dalil ini berpedoman pada pengertian Laa ilaha illa Allah yang maknanya antara lain tidak akan melakukan permohonan untuk ketenangan dan kekuatan selain kepada Allah SWT.
Tawakkal bukan berarti meninggalkan kerja. Bahkan Allah SWT menyuruh kita bekerja, tetapi kita dilarang menggantungkan hidup kita pada pekerjaan itu. Allah telah menyuruh mempersiapkan perlengkapan perang, tetapi Allah juga menyuruh kita untuk menggantungkan segala kehidupan kita hanya kepada-Nya. Allah menyuruh kita bekerja dan berusaha, tetapi Ia juga menyuruh kita beriman bahwa Dia-lah yang memberi rezeki. Dia menyuruh kita berobat, teapi dengan syarat kita berkeyakinan bahwa yang menyembuhkan hanyalah Allah SWT. Ringkasnya, barangsiapa yang bekerja, berusaha, dan berikhtiar dengan tidak bertawakkal dan bergantung kepada Allah, ia telah merusak syarat tadi. Sebaliknya orang yang bertawakkal dan bergantung kepada Allah, tapi tanpa daya dan usaha, juga ia telah merusak salah satu syarat tadi.
Di sini dapat diandaikan suatu perbedaan antara orang kafir dan orang mukmin. Orang kafir dan orang mukmin sama-sama membanting tulang dan mengerahkan segala tenaga dan usaha, tetapi orang-orang kafir, ia tidak menggantungkan harapannya kepada Allah, bahkan ia menggantungkan pada usahanya. Sebaliknya orang-orang mukmin di samping usahanya tersebut ia menggantungkan segala harapannya kepada Allah SWT.
Bergantung dengan sebab dan melupakan bahwa yang mengizinkan sebab itu berproses adalah Allah termasuk maksiat. Bergantung pada sebab dan disertai keyakinan bahwa sebab-sebab itu tidak ada hubungannya dengan Allah adalah syirik yang dapat menghancurkan syahadatain. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan tentang masalah ini yang antara lain seperti dalam firman-Nya:
“Maka bukan kamu yang membunuh mereka, tetapi Allah yang membunuh mereka; dan bukan engkau yang melempar, waktu engkau melmpar tetapi Allah yang melempar…”                                              (Al Anfal: 17)
“Sesungguhnya Allah, Ia-lah Pemberi rezeki, Yang Mempunyai Kekuasaan, Yang Sangat Tangguh.”
                                                                                                                                    (Adz Dzariyat: 58)
“Dan apabila aku sakit, maka Ia sembuhkan aku.”                                                         (Asy Syu’ara: 80)
“Tidakkah engkau lihat bahwa Allah telah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi (ini) hijau segar? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”                                                           (AL Hajj: 63)
Kita harus meyakini bahwa Allah menjadikan sebab musabab di dunia ada fungsinya dan harus dipercaya bahwa Allah-lah yang menjadikan semua itu. Allah berfirman,
“Allah Yang Menciptakan segala sesuatu; dan Ia Pemelihara atas segala sesuatu.”         (Az Zumar: 62)
Barangsiapa yang mengingkari sebab-sebab dan menganggap tidak ada  gunanya adalah kafir, sebaliknya yang meyakini sebab-sebab itu memiliki pengaruh sendiri adalah syirik.

2. Mengingkari nikmat Allah, baik yang kelihatan atau yang tidak kelihatan, baik yang mudah dipikirkan atau yang memerlukan pengkajian seacara mendalam.

Karena segala nikmat itu datangnya dari Allah SWT. Kita telah meyakini bawhwa pengertian Tuhan Yang Maha Kuasa adalah Dia sebagai Murabbi, Pemimpin Yang Maha Tinggi, dan Pemberi nikmat. Bahkan kita harus meyakini bahwa sesuatu bencana yang menimpa kita juga hakikatnya dari Allah, Dia adalah selaku Pemberi mikmat dan Penghalangnya. Sebab dalam urusan memberi dan menahan nikmay bukan urusan manusia tetapi sepenuhnya hak Allah SWT. Allah berfirman:
“Dan Dia telah memberikan kepadamu   dan segala apa yang kamu  mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni'mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari.”                                                                                                               (Ibrahim: 34)
            “Tidakkah kamu perhatikan  sesungguhnya  Allah  telah  menundukkan  untuk mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada  yang membantah  tentang  Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
                                                                                                                                    (Lukman: 20)
“Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa , maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.  ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri".
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu  negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari  duniawi dan berbuat baiklah  sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di  bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu  negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari  duniawi dan berbuat baiklah  sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di  bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”                                                                                                                                   (Al Qashash: 76-78)
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”                                                                                                                         (Al Taghabun: 11)
“Maka apabila mereka  naik  kapal  mereka  mendo'a  kepada  Allah  dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat,  tiba-tiba mereka  mempersekutukan.”
                                                                                                                                    (Al Anakabut: 65)
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya ni'mat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi ni'mat itu hanyalah karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.”
“Sungguh orang-orang yang sebelum mereka  telah mengatakan itu pula, maka  tiadalah berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan.”
“Maka mereka ditimpa oleh akibat buruk dari apa yang mereka usahakan. Dan orang-orang yang zalim di antara mereka akan ditimpa akibat buruk dari usahanya dan mereka tidak dapat melepaskan diri.”
“Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.”                                                                                                                                    (Az Zumar: 49-52)
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.”
“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisiNya." Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras.”
“Dan apabila Kami memberikan ni'mat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdo'a.”                                                                           (Fushilat: 49-51)
“…Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari . Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk  dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia."                                                    (An Naml: 40)
“Dan apa saja ni'mat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah , dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.”
“Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada kamu mempersekutukan Tuhannya.”
“Biarlah mereka mengingkari ni'mat yang telah Kami berikan kepada mereka; maka bersenang-senanglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya).”                                                                   (An Nahl: 53-55)
 

3. Melakukan sesuatu untuk selain Allah.

Hal ini sangat tidak disukai oleh Allah berdasarkan firman-Nya:
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku,  hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”                                                                                                              (Al An’am: 162)
Berdasarkan ayat tersebut kita tegaskan keyakinan bahwa tidak ada ibadah atau penghambaan yang disembah kecuali Allah SWT. Tidak ada peribadatan yang dipersembahkan, kecuali hanya untuk dan karena Allah SWT.
Pengertian ibadah di sini tidak hanya terbatas pada masalah-masalah shalat, zakat, puasa, dan haji, tetapi mencakup semua pekerjaan yang dilakukan di atas syariat yang ditujukan dan diperuntukkan karena Allah SWT adalah termasuk ibadah. Sebaliknya setiap pekerjaan yang dimaksudkan karena hendak berbakti pada selain Allah yang memang dimurkai Allah adalah syirik.
Antara lain berkhidmat utk menegakkan nasionalisme (kebangsaan) dan menjadikannya sebagai tujuan utama dalam perjuangan hidup; seperti berperang karena untuk mempertahankan bangsa., berpropaganda agar orang mendukung ide nasionalisme serta cita-cita nasionalisme, berjuang dan bekerja demi kebangsaan, menanamkan semangat fanatisme kebangsaan yang mendalam. Penumpuan dan konsep hidup semacam itu adalah pandangan atau konsep syirik. Karena Allah SWT telah menyuruh bekerja, berkhidmat, berjihad, dan berperang karena Allah semata. Kaum muslimin dibenarkan berusaha memperbaiki bangsanya atas dasar apa yang diperintahkanoleh Allah SWT. Maka apabila bangsanya itu kafir, saat itu pula kaum muslimin tidak boleh berkhidmat lagi, kalau ia berkhidmat pada bangsa kafir dianggap sebagai suatu pengkhianatan terhadap diri dan Islam.
Bekerja semata-mata untuk kemajuan negara juga termasuk dalam kategori syirik, kaum muslimin tidak boleh meletakkan gantungannya kepada negaranya, kecuali tujuan negara dan orang-orang yang memerintahnya semuanya bertujuan Islam dan karena Allah semata. Apabila kita bekerja untuk kebaikan negara dan penduduknya yang Islam maka pekerjaan kita itu sesuai dengan perintah Allah, tetapi apabila kita meletakkan kenegaraan sebagai tujuan (perjuangan) di dalam pekerjaan kita dan tidak mau meniatkan karena Allah, maka pada dasrnya orang yang melakukannya itu sudah termasuk dalam kategori syirik. Allah telah mamandang hina terhadap orang-orang atau bangsa-bangsa yang menggantungkan keyakinannya kepada negara. Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka : "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),”
“dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,”
“dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”                                             (An-Nisa’: 66-68)
Suatu pekerjaan atau apa saja yang dibuat atas dasr kepentingan meninggikan citra atau syiar negara, kesatuan negara, dan berjuang habis-habisan untuk kepentingan negar adalah syirik. Akan tetapi jika dasar pekerjaan dan usaha itu atas dasar neraca keimanan kepada Allah dalam rangka berusaha hendak mempertahankan pelaksanaan perintah Allah atas dasar tujuan berbakti kepada Allah, ini jelas termasuk dalam kategori ibadah.
Suatu pekerjaan yang dijalankan atas dasar untuk kemanusiaan semata adalah termasuk syirik, karena ia telah memalingkan konsep atau pengertian hidupnya dari Allah yang semua orang harus menumpukkan segala pekerjaannya hanya untuk-Nya.
Akan halnya slogan “ilmu untuk ilmu, sastra untuk sastra, seni untuk seni” adalah juga termasuk perbuatan syirik. Pokoknya setiap slogan atau simbol yang di luar niat untuk menyembah Allah adalah syirik.

4. Memberikan hak untuk memerintah dan melarang secara mutlak, hak menghalalkan dan mengharamkan, hak membuat undang-undang, dan hak menentukan hukum kepada selain Allah.

Perbuatan semacam ini melawan Allah, karena Allah-lah yang mempunyai hak menentukan undang-undang bagi kehidupan manusia, halal-haram, peraturan hidup, kehakiman, dan segala perintah dan larangan. Allah berfirman,
“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”
                                                                                                                                    (Al-A’raf: 54)
“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik."                                                                                                                  (Al-An’am: 57)
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah  dan  Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan  selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”                                                                            (At-Taubah: 31)

Termasuk dalam kategori ini adalah Sistem Demokrasi dalam pemerintahan yang mana segala macam peraturan dan undang-undangnya dibuat oleh wakil-wakil rakyat di Parlemen yang sifatnya sebagai perwakilan rakyat dalam suatu negara atas dasar kemauan dan pikiran mereka semata-mata. Apabila keputusan penyusunan undang-undang itu terletak di tangan mayoritas (suara terbanyak) anggota Parlemen, maka di sini berarti bahwa hak membuat undang-undang itu berada di tangan manusia (padahal membuat undang-undang adalah hak Allah semata), di sinilah letak kesyirikannya.
Untuk menyelamatkan umat Islam agar tidak terjerumus ke dalam perangkap syirik dalam penggunaan demokrasi tadi di dalam masyarakat Islam, ialah harus menanamkan pemahaman Syura dalam Islam (yang bertujuan untuk menyusun undang-undang dalam pengelolaan negara Islam). Dalam Lembaga Majelis Syura dab cara pemilihan para anggotanya bolrh saja dilakukan melalui pemilihan umum, dengan syarat kedudukan Majelis Syura dan para anggotanya selalu konsisten dan melaksanakan hukum Allah. Mereka diperbolehkan beritjihad dalam rangka melaksanakan hukum-hukum Allah berkenaan dengan apa yang terjadi ketika itu, tapi tetap harus didasarkan pada nash-nash yang jelas. Jika nash-nashnya kurang jelas, maka diperlukan kajian mendalam untuk menentukannya. Di sini dapat dilihat bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah tetap berperanan sebagai konstitusi negara yang berparlemen, atau dengan kata lain, setiap anggota Majelis Syura, tidak diperkenankan menetukan suatu undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi yang dubuat oleh Allah. Oleh karena itu sistem parlemen yang mendasarkan ketentuan perundang-undangannya kepada undang-undang Allah dianggap salah satu bentuk yang Islami. Tetapi jika di dalam penafsiran undang-undang atau di dalam penyusunannya ternyata bertentangan dengan kehendak Allah, maka tak pelak lagi perbuatan yang demikian merupakan peletakan undang-undang yang asing dan jauh dari Allah yang telah disusupi oleh kepentingan-kepentingan kaum kapitalis, kaum sosialis dan kepentingan lainnya yang sengaja menyusup untuk merusak konstitusi tersebut.  
Sama halnya dengan mengutamakan kepentingan partai dalam penyusunan undang-undang, atau kepentingan pemimpinnya, atau kepentingan seorang pimpinan politik atau agama (maksudnya telah meletakkan undang-undang atas dasar kepentingan pemimpin tertentu, bukan karena kepentingan syariat Allah). Adapun menyusun undang-undang atas dasar hendak melaksanakan hukum Allah, maka ini merupakan kewajiban bagi para ulama mujadid.
Termasuk dalam kategori perbuatan yang merusak Syahadatain ialah, seseorang yang tidak menerima tugasnya yang dikenakan oleh Allah ke atas pundaknya untuk melaksanakan hukum-hukum Allah di bumi ini, yang mana Rasulullah SAW telah menjelaskan kepadanya, tetapi ia melarikan diri dari tugas ini. Perhatikan firman Allah di bawah ini,
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat  dari urusan , maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”                            (Al-Jatsiyah: 18)

5. Taat kepada selain Allah - atas dasar kerelaan dan keyakinan - tanpa ada izin dari-Nya.

Sebab, makna Laa ilaha illa Allah yang sama-sama telah kita ketahui berarti tidak ada yang dipatuhi melainkan hanya Allah. Taat yang dibenarkan dan diizinkan oleh Allah adalah kepada Rasul-Nya, karena bila seseorang menaati Rasullah, ia berarti menaati Allah. Allah berfirman,
“Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta'ati Allah…”           (An Nisa’: 80)
Juga taat pada pemimpin, jika mereka tetap menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Tetapi, jika mereka telah keluar dari kerangka Qur’an dan Sunnah maka tidak boleh taat kepada mereka, karena mereka sudah tergolong berbuat maksiat, tidak peduli apakah pemimpin atau pemerintahan itu terdiri dari kaum alim ulama. Ini berdasarkan pada firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah  dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama  dan lebih baik akibatnya.”
                                                                                                                                    (An Nisa’: 59)
Dalam ayat di atas jelas, bahwa taat kepada pemerinta disyaratkan bahwa pemerintah itu hendaknya dari golongan kita (orang-orang yang beriman) dan orang yang mau kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ketika terjadi perselisihan pendapat. Dalam sebuah hadirs disebutkan,
“Tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal durhaka kepada Allah.”                              (HR Tirmidzi)
“Sesungguhnya taat itu hanya dalam hal ma’ruf (yang tidak bertentangan dengan syara’).”
                                                                                                                                    (HR Bukhari)
Dalam mencurahkan ketaatan hendaklah semata-mata karena Allah. Tidak boleh karena kepentingan diri sendiri, dorongan setan, karena sifat kekafiran, kesesatan, bid’ah, karena fasik, ekstrem, lalai atau karena dorongan keturunan dan propaganda-propaganda thaghut. Allah berfirman,

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya  dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah . Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”                                                                                                  (Al Jatsiyah: 23)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.”                                                                                                                (Al An’am: 116)
“dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas,”                  (Asy Syu’ara: 151)
“yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan."                 (Asy Syu’ara: 152)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta'ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang , lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.”                            (Ali Imran: 149)
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”         (Ali Imran: 100)
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.”                                             (Yasin: 60)
Barangsiapa yang mencurahkan ketaatan dan kesetiaannya kepada golongan seperti yang digambarkan oleh Al Qur’an tadi, sebagai Tuhan yang diagung-agungkannya dan dipuja-pujanya maka ia akan menjadi kafir. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang  sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah  dan memanjangkan angan-angan mereka.”                                  
“Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka  itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah : "Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan", sedang Allah mengetahui rahasia mereka.”                                                                                                                            (Muhammad: 25-26)
Sebanyak mereka yang disebut dalam Al Qur’an itu dianggap sebagai murtad dalam masalah ketaatan ialah, karena mereka menolak (benci) kepada apa yang diturunkan oleh Allah dalam beberapa masalah karena mereka enggan menaati Rasulullah SAW. Sebab tanda-tanda ketaan kepada Allah adalah ketaatannya kepada Rasulullah, yang mana kita tidak akan mengenal Allah tanpa jalan yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah. Arti taat kepada Rasul, termasuk menghidupkan Sunnahnya. Barangsiapa yang menantang Sunnahnya, ia menjadi kafir. Jika seseorang mengakui Sunnah Rasul, tetapi ia melanggar perintahnya, maka ia dikatakan fasik. 

6. Menghukum dengan selain hukum Allah atau berhukum kepada selain Allah.

Ini berdasarkan firman Allah,
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”                                                                                                                   (Al Maidah: 44)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut , padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka  penyesatan yang sejauh-jauhnya.”
“Apabila dikatakan kepada mereka : "Marilah kamu  kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi  dengan sekuat-kuatnya dari  kamu.”
                                                                                                                                    (An Nisa’: 60-61)
“Tetapi tidak! Maka demi Tuhanmu, mereka  tidak (dikatakan) beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.       (An Nisa’: 65)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling , maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
                                                                                                                                    (Al Maidah: 49)



“Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati ." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.”
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah  dan rasul-Nya, agar rasul menghukum  di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.”
“Tetapi jika keputusan itu untuk  mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.”
“Apakah  dalam hati mereka ada penyakit, atau  mereka ragu-ragu ataukah  takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum  di antara mereka  ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.”                                            (An Nur: 47-52)

7. Membenci Islam atau sebagian dari ajarannya.




















0 komentar:

Posting Komentar

Daftar Artikel

Loading...