Jumat, 02 Maret 2012

BERBAKTI PADA ORANG TUA


Dahulukan Bakti dari Hijrah di Jalan Allah
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu, ia berkata, bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata:
“Sungguh, aku datang untuk berbai’at kepadamu atas hijrah, dan aku tinggalkan kedua orang tuaku menangis. Lalu Nabi berkata, ‘Pulanglah kepada keduanya, lalu buatlah mereka tersenyum sebagaimana kamu buat mereka menangis” (H.R. Hakim, Al-Mustadrak, IV:152)

Bakti rasulullah kepada Orang Tua Susunya dan Bakti Fatimah kepada Beliau
Dari ‘Umar Ibnus-Sa’ib radliyallahu’anhu, (ia berkata):
“Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk-duduk, lalu bapak susunya datang kepadanya. Beliau pun menempatkan sebagian kainnya untuk diduduki oleh bapak susunya. Ibu susunya pun datang menyusul, lalau beliau meletakkan sebagian kainnya pada sisi yang lain seraya mempersilahkan duduk di atas kain itu. Maka duduklah sang ibu. Kemudian datang lagi saudara laki-laki sepersusuannya. Beliau pun berdiri dan menyambutnya, lalu mempersilahkannya duduk didepannya.” (H.R. Abu Dawud)
Abu Dawud-dalam hadits lain-juga meriwayatkan, dari Abith-hufail radliyallahu’anhu, ia berkata, “Saya pernah elihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membagikan daging segar di Ji’ranah, ketika itu aku masih kanak-kanak, membawa tulang (onta/kambing) yang di sembelih. Tiba-tiba seorang wanita datang dan mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun menghamparkan kain rida’nya, kemudian wanita itu duduk diatasnya. Lantas aku bertanya, 'Siapakah wanita itu?’ Mereka berkata, ‘Dia adalah ibu yang menyusui beliau.”
Dari Ummi Hani’ radliyallahu’anha, saudara Ali bin Abi Thalib radliyallahu’anhu, ia berkata:
“ Saya pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun Futuh Makkah. Saya dapati beliau sedang mandi, sementara Fathimah, putrinya, menutupi (menghalang-halangi)nya dengan kain. Saya memberi salam kepadanya, lalu berkata, ‘Siapa?’ Saya katakan, ‘Saya adalah Ummu Hani’ binti Abu Thalib.’ Kemudian beliau berkata, ‘Marhaban (selamat datang) Ummu Hani’.’ “ (H.R. Bukhari; Muslim; dan Malik)

Tolak perintah dari Ibu-Bapak untuk Maksiat kepada Allah,Namun tetap berlaku  Baik terhadapnya
Kewajiban taat kepada ibu-bapak datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengingat betapa tingginya kedudukan berbakti kepada ibu-bapak, sehinga Allah Ta’ala mengaitkan perintah berbakti ini dalam satu ayat, bersamaan dengan perintah beribadah hanya kepada-Nya.
            Ketaatan yang diperintahkan Allah, hanyalah menyangkut perkara yang ma’ruf, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya.
            Apabila seorang anak tidak menaati orangtuanya dalam hal maksiat kepada Allah (seperti menyuruh berbuat syirik, bid’ah, menentang sunnah, melanggar yang diharamkan, dan lain-lain), namun ia harus tetap berbuat ihsan kepada keduanya. Inilah prinsip yang ditekankan dalam muwalahfillah dan mu’adah fillah (loyalitas dan permusuhan karena Allah)
            Allah menyukai hamba-Nya yang taat, maka kita pun loyal kepada hamba yang taat itu karena Allah. Dan Allah membenci hamba-Nya yang maksiat, maka kita pun membenci hamba yang berbuat maksiat tersebut karena Allah.
            Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Tidak ada ketaatan kepada manusia dalam hal maksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf” (H.R. Ahmad; Bukhari; Muslim; Abu Dawud; Nasa’i; Ath-Thayalisi; dan Abu Ya’la dalam Musnadnya, I:241. Lihat Silsilatul-Ahaditsish-Shahihah, nomor 181)
            Fakhrur Razi rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan, “Jika seseorang tunduk kepada oran glain, sepatutnya dia tunduk kepada orang tuanya. Namun demikian, jika kedua orang tuanya memerintahkan kemaksiatan, maka tidak boleh mengikuti mereka, apalagi jika yang memerintahkan kemaksiatan itu selain kedua orang tuanya.” (Tafsir Ar-Razi, XXV:35)
            Dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya (Sa’d bin Abi Waqqash radliyallahu’anhu); Sa’d berkata, “Ada empat ayat Al-Qur’an yang diturunkan berkenaan dengan aku. “Selanjutnya Mush’ab bin Sa’d berkata, “Ummi (ibunya) Sa’d bersumpah untuk tidak akan berbicara dengan Sa’d, tidak akan makan, dan tidak akan minum sampai Sa’d mengingkari agamanya, Ummu Sa’d berkata, “Kamu mengatakan bahwa Allah berwasiat kepadamu agar berbakti kepada kedua orang tuamu, maka saya ini ibumu, da saya memerintahkan kamu melakukan hal itu.’ Selama tiga hari ibunya berdiam diri sampai keadaannya sangat memprihatinkan. Merasa tidak tega, maka puteranya yang bernaka ‘Ummarah memberinya minum. Ia pun memanggil-memanggil nama Sa’d. Maka, Allah yang mahamulia Lagi Mahaagung menurunkan ayat ini:
                        “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Al-Ankabut:8)

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.“(Luqman :15) (H.R. Muslim dan tirmidzi)
            Riwayat tersebut dengan jelas menunjukkan, bagaimana ingkarnya seorang ibu, dan kegigihannya memerintahkan kepada anak-anaknya untuk ingkar kepada Al-Islam, seorang anak harus menolak dan tidak boleh megikuti perintah orang tuanya. Namun, tetap diperintahkan untuk berlaku baik dan menjalin tali rahim kepadanya selama di dunia.
            Dari Asma’ binti Abu Bakr radliyallahu’anhuma ia berkata, “Pada masa perjanjian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan kaum musyrikin, dan jaminan beliau kepada mereka dalam perjanjian Hudaibiyyah), ibuku telah datang menemuiku padahal dia seorang musyrik. Lalu aku meminta fatwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan saya katakan, ‘Ibuku telah datang kepadaku dan dia itu sangat mengharapkan suatu(pemberian) dariku, apakah aku boleh memberikan sesuatu kepadanya sementara itu dia kafir?’ Nabi menjawab, ‘Ya, berikan dan jalinlah hubungan rahim dengan ibumu itu.’” (H.R. Bukhari dan Muslim)
            Dari Ibnu ‘Uyainah berkata, “Setelah itu, Allah menurunkan ayat (Al-Mumtahanah:8): ‘Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.’”
            Namun, satu hal yang tak boleh diabaikan, terutama bagi sorang muslim yang memiliki ibu-bapak atau salah satu dari keduanya masih dalam keadaan kafir, adalah berusaha keras dan terus menerus untuk mengajak dan mendawahi mereka kepada iman, dengan cara bil-hikmah, persuasif, santun, dan lembut, serta penuh kasih sayang.
            Lihat kisah dialog Ibrahim ‘alaihissalam dengan ayah kandungnya dalam surat Maryam: 41-50.
            Ibrahim ‘alaihissalam, ketika berdialog (hiwar) dengan ayahnya, menggunakan kata-kata yang lembut, sopan dan penuh kasih sayang, padahal ayahnya adalah seorang musyrik yang fanatis. Misalnya, Ibrahim berkata:
Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (ayat 42)

Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (ayat 43)

Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” (ayat 44)
            Namun, kata-kata penuh kasih sayang yang mengugah akal dan rasa itu tidak ditanggapi dengan baik oleh ayahnya, bahkan ayahnya, ketika memanggil Ibrahim, tidak menggunakan panggilan “Hai anakku”, akan tetapi “Hai Ibrahim....” (ayat 46) lalu ayahnya mengeluarkan kata-kata ancaman, menyuruh anaknya agar meninggalkan ian tauhid, akan merajam dan mengusirnya jika tidak mau menuruti perintahnya.
            Abu hurairah adalah contoh seorang hamba Allah yang sangat gigih berupaya menyeru ibunya untuk menerima Islam.
            Imam Bukhari di dalam kitab Al-Adabul-Mufrad meriwayatkan dari Abi Katsir At-Tamimi, ia berkata bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Tak seorangpun, baik Yahudi maupun Nashrani, yang mendengar tentang aku melainkan mencintaiku. Aku pernah menginginkan ibuku sendri agar masuk Islam, namun dia menolaknya. Kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, do’akanlah untuknya (ibuku) agar menerima Islam.’ Nabi pun mendoakannya. Lalu aku datang kepadanya, sementara dia (berada dalam rumah) dengan pintu terkunci. Kemudian (Ibuku) berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, aku telah masuk Islam.’ Lalu aku khabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (perihal Islamnya ibuku), dan aku katakan kepadanya, Do’akanlah kepada Allah untukku dan ibuku.’ Kemudian Nabi berkata(dalam do’anya), ‘Tanamkanlah pada diri manusia rasa cinta kepada hamba-Mu, yaitu Abu Hurairah dan ibunya.’”
            Begitu pula Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallahu’anhu sangat gigih dalam mengislamkan ayahnya.

Ibu-Bapak, Manusia yang Paling Berhak Dipergauli dengan Sebaik-baiknya
Orang bilang, kini zaman suda terbalik. Dalam pergaulan sehar-hari, terkadang seseorang lebih mementingkan urusan orang lain yangbukan kerabat, yang terkadang berlainan aqidah, atau melanggar kaidah syar’i, daripada mementingkan orang tuanya sendiri.
Adapula seorang anak, karena sudah merasa status sosialnya tinggi di masyarakat dan hidup di perkotaan yang serba kecukupan, maju dan modern, kemudian merasa malu menerima orang tuanya yang hanya mengenyam pendidikan di surau-surau atau madrasah-madrasah diniyah; dan malu mengakui keduanya sebagai ibu dan ayah kandungnya. Kalaupun mau menerima kehadiran mereka berdua, dalam memperlakukan keduanya, tak ubahnya seperti memperlaukan pembantu rumah tangganya. Na’udzubillahi min dzalik.
Padahal, dalam dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah dinyatakan:
“Seseorang datang menemui Rasulullah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling berhak dipergauli dengan sebaikbaiknya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Kemudian siapa lagi?’ lanjutnya. Rasulullah menjawab, ‘Bapakmu.’” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Seorang sahabat bernama Thalhah As-Sulami radliyallahu’anhu datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, saya ingin berjihad fi sabililah.’ Beliau bertanya, ‘Ibumu masih hidup?’ Jawabnya, ‘Ya, masih hidup.’ Beliau bersabda lagi, ‘Bersimpuhlah engkau di kakinya (berbaktilah-pen.) sebab di sana terdapat surga.’” (H.R. Thabrani)            
Dahulukan Bakti kepada Ibu, Bila Ibu-Bapak Berselisih

Ketika mensyarah hadits (yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berasal dari Abu Hurairah) tersebut diatas, Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan sebagai berikut:
“Ibnu Baththal berkata, ‘Tuntunan berbakti kepada ibu sampai tiga kali disebut oleh Nabi, sementara (berbakti kepada) ayah hanya disebut sekali, disebabkan karena adanya penderitaan ibu ketika mengandung, melahirkan, dan menyusui. Semua itu hanya dijalani oleh ibu. Disamping itu, seorang ibu juga mentarbiyah (mendidik anak-anaknya) bersama-sama dengan ayah (suami).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya); ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.’’ (Lukman:14)
Dalam ayat tersebut, kedudukan ibu dan bapak sama dalam hal perintah untuk berbakti kepada keduanya. Namun, ibu memiliki keistimewaan dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).
            Al-Qurthubi berkata, ‘Maksudnya, bahwa hak ibu dari anak dalam hal berbakti, lebih besar daripada hak bapak. Dan bila terjadi persaingan antara hak ibu dan hak bapak, maka hak ibu harus didahulukan.’
            Iyadl berkata, ‘Jumhur ulama’ berpendapat bahwa seorang ibu memiliki keutamaan dalam hal bakti dibandingkan dengan seorang bapak. Dan dikatakan oleh sebagian ulama’, bahwa hak keduanya sama saja dalam hal bakti, seperti yang dinukil oleh sebagian mereka dengan bersumber dari Malik. Namun, yang benar adalah pendapat pertama (hak ibu lebih besar dibandingkan hak bapak).’ Pendapat kedua dianut oleh ulama Syafi’iyyah, akan tetapi di kutip dari harits Al Muhasabi, bahwa telah menjadi ijma’, melebihkan bakti kepada ibu daripada ayah.
            Secara mutlak, hak ibu dalam hal bakti harus didahulukan. Hal ini dipertegas oleh hadits berikut ini:
“Dari Aisyah radliyallahu’anha, ia berkata, ‘Saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Siapakah yang paling besar haknya terhadap wanita?’ Nabi menjawab, ‘Suaminya.’ Lalu saya bertanya lagi, ‘Siapa yang paling besar haknya terhadap seorang lelaki’ Nabi menjawab, ‘Ibunya.’” (H.R. Ahmad dan Nasa’i, shahih menurut Al-Hakim)
            “Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, bahwa seorang wanita berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya perutku adalah tempat bagi anak-anakku ini; buah dadaku menjadi sumber minumnya; dan kamarku sebagai tempat berlindung baginya. Sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkan dia dariku.’ Lalu Nabi berkata, ‘Anda yang lebih berhak terhadapnya selama Anda tidak/belum menikah (lagi).’” (H.R. Hakim dan Abu Dawud)
            Al-Harits Al-Muhasabi menyatakan bahwa telah menjadi ijma’, dalam hal bakti, seorang ibu didahulukan daripada seorang bapak.” (Fat-hul-Bari, XIII:5-6).

Anda dan Harta Anda Milik Ayah Anda
Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru Ibnul ‘Ash radliyallahu’anhu ma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi seorang lelaki, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya memunyai harta dan anak. Sedangkan ayahku membutuhkan hartaku itu.” Lalu Nabi berkata:

“Anda dan Harta Anda milik Ayah Anda; sesungguhnya anak-anak Anda adalah termasuk hasil usaha Anda yang terbaik, maka dari itu makanlah dari penghasilan anak-anak Anda.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kamu makan adalah yang berasa dari hasil usahamu, dan sesungguhnya anak-anakmu adalah termasuk hasil usahamu.” (H.R. Bukhari; Tirmidzi; Nasa’i; dan Ibnu Majah)
Dari ‘Aisyah radliyallahu’anha, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya anak-anakmu adalah bagian dari hasil usahamu, dan pemberian Allah kepadamu. Dia menganugerahi anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan dia menganugerahi anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (H.R Abu Hanifah, dalam Musnadnya)
            Rasulullah melarang seseorang menarik kembali pemberian yang telah diberikan kepada orang lain, kecuali terhadap anaknya sendiri. Rasulullah bersabda:
“Seseorang tidak dihalalkan menarik kembali pemberian yang telah diberikan kecuali orang tua yang menarik kembali sesuatu yang telah diberikan kepada anaknya. Perumpamaan orang yang menarik kembali pemberian yang telah diberikan itu bagaikan seekor anjing makan suatu (makanan) samai kenyang dan muntah, lalu memakannya kembali.” (H.R. Tirmidzi; Nasa’i; Ibnu Majah; abu Dawud, dan Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu ma)

Bebaskan Jiwa Ibu-Bapak dengan Harta
Perkara ini merupakan suatu gambaran keagungan bakti seorang anak terhadap kedua orang tuanya. Pada zaman dahulu (zaman perbudakan) bentuknya bisa berupa pembebasan kedua orang tua atau salah satunya dari status budak, sebab orang tua terkadang ditemukan dalam keadaan berstatus budak dan tidak mempu membebaskan dirinya, sementara anaknya berstatus merdeka dan memiliki harta.
Pada masa sekarang, andaikan aya dipenjarakan karena suatu sebab, dan dia bisa bebas dengan tebusan, maka dalam hal ini, anaklah yang paling bertanggung jawab untuk menebusnya dengan harta yang dimilikinya. Contoh lain adalah, dengan melunasi hutang orang tua, bila salah satu atau keduanya dililit hutang dan tak mampu menyelesaikannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seseorang anak tidak bisa membalas orang tua kecuali bila mendapatinya sebagai budak yang dimiliki (majikannya), lali dia membelinya dan membebaskannya.”
“Barangsiapa menghajikan kedua orangtuanya atau melunasi hutang keduanya, niscaya pada hari kiamat (akan) dibangkitkan (oleh Allah) bersama orang-orang baik.(al-abrar).” (H.R. Daruquthni)
Perkara ini sejalan dengan beberapa hadits sebelumnya berkenaan dengan sub judul “Anda dan Harta Anda Milik Ayah Anda.”

Anak dan Ibu-Bapak Saling Mendo’akan.
Do’a adalah rukun asasi dalam berbakti, dan merupakan gambaran hati yang memiliki ungkapan cinta dan kasih sayang antara anak dan orang tua, atausebaliknya.
Dalam hadits terdahulu telah disebutkan, bahwa do’a orang tua untuk anaknya itu mustajab, utamanya do’a ibu untuk anaknya. Begitu pula do’a anak shalih, tidak saja dianjurkan selama orang tuanya masih hidup, namun juga menjadi amal jariyah bagi orang tuanya yang telah meninggal.
Manakala hati orang tua dan anak telah diliuti rasa saling cinta, maka do’a sesamanya pun akan bertambah meluncur melalu lisan mereka.
Abu Hurairah radliyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada tiga jenis do’a yang mustajab dan tak ada keraguan lagi padanya (untuk dikabulkan) yaitu: do’a orang teraniaya, do’a seorang musafir, dan do’a orang tua untuk anaknya.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits ini Hasan)
Ibu anas bin Malik memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar mendo’akan anaknya (Anas bin Malik; pembantu Rasulullah).
Anas radliyallahu’anhu u berkata, “Ibuku berkata, Ya Rasulullah, do’akan kepada Alah untuk pembantumu, Anas.’ Rasulullah kemudian berdo’a:
“Ya Allah, perbanyaklah hartanya dan putranya, dan berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya.’” (H.R. Bukhari, kitab Ad-da awat)

Jaga Nama Ibu-Bapak dari Caci Maki
Mencaci maki orang tua dan merendahkan martabatnya, atau melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua di maki-maki, menangis, dan sedih, termasuk durhaka kepada orang tua. Sebaliknya, menjaga nama bak orang tua dari makian, termasuk berbakti kepada keduanya.
Ali radliyallahu’anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang membuat orang tuanya sedih, maka ia telah durhaka kepada keduanya.” (H.R. Bukhari, dalam Al-Adabul-Mufrat)
Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu huma, ia berkata, “Perbuatan anak yang membuat tangis kedua orang tauanya termasuk kedurhakaan.” (H.R. Bukhari, dalam Al-Adabul-Mufrad)
Dalam riwayat lain, ‘Abdullah bin bin ‘Amru Ibnul- ‘Ash berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Termasuk dosa besar ialah seorang anak mencaci maki kedua orang tuanya.” Ada yang bertanya,”Apa mungkin seorang anak mencaci kedua orang tuanya?” Nabi menjawab, “Ya, jika seorang memaki ayah orang lain, lalu orang itu membalas memaki-maki ayahnya; seorang anak memaki-maki ibu orang lain, lali orang lain itu membalas memaki ibunya.” (H.R. Bukhari; Muslim; Abu Dawud; dan Tirmidzi)
Diperkuat dalam shahihain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.”

Hubungkan Nasab kepada ayah Kandung
Merupakan suatu keharusan melestarikanhubungan kekerabatan di kalangan kaum muslimin, yaitu dengan menghubungkan nasab (silsilah) kepada nama ayahnya. Bahkan terlarang secara keras, bagi setiap orang yang menghubungkan nasabnya kepada orang lain yang bukan ayahnya.
            Diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash radliyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa mengaku keturunan oran glain yang bukan ayahnya, sementara mengetahui bahwa dia itu bukan ayahnya, maka surga haram bagi dirinya.” (H.R. Abu Ya’la, di dalam Musnadnya, II:59,dengan sanad shahih; Ahmad, I:169; Baihaqi, VII:403)
            Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:
“Janganlah kamu membenci bapak-bapakmu, sebab siapa yang membencinya, maka dia kufur.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
            Penyebab anak membenci ayahnya kemungkinan adalah larena si anak berkedudukan tinggi, kaya dan terhormat di masyarakat. Sementara, ayahnya miskin dan kolot, sehingga dia membenci untuk menasabkan dirinya kepada ayah kandungnya sendiri.
            Dari Abu Dzar radliyallahu’anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada (predikat yang layak bagi seseorang yang mengakui oran glain sebagai ayahnya, sementara dia mengetahui (bahwa orang tersebut bukan ayahnya) selain (predikat) kekufuran. Dan barangsiapa mengaku yang bukan haknya, bukanlah dari golonganku, dan tempat yang terpantas baginya adalah neraka. Dan siapa memanggil orang lain ‘Hai Kafir’ atau ‘Hai Musuh Allah’ padahal bukan demikian adanya, maka kata-katanya itu berpulang kepada dirinya.”

Hajikan Ibu-Bapak yang Tidak Sanggup Karena Udzur
Ari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu, ia berkata, “Fadl-l bin ‘Abbas pernah membonceng dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tba datang seorang perempuan Khats’am meminta fatwa kepada beliau. Fadl-l menengok kepada perempuan itu dan perempuan itu menengok kepadanya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memalingkan muka Fadl-l ke arah lain. Kata perempuan itu, ‘Ya Rasulullah, kewajiban menunaikan haji terpikul pada bapakku, namun dia sudah tua renta; dia tak sanggup lagi duduk lama-lama di kendaraan (atau berlama-lama dalam perjalanan). Bolehkah aku menggantikannya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Boleh saja.’ Fatwa Nabi ini terjadi ketika haji Wada’.” (H.R. Muslim. Dalam matan lain Nabi berfatwa, ‘Hajikanlah olehmu untuk dia.’)

Tunaikan Nadzar Orang Tua
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu, ia berkata, “Sa’d bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nadzar ibunya yang telah meninggal, namun belum juga ditunaikannya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berfatwa kepadanya:
“Bayarlah olehmu atas namanya.” (H.R. Muslim)
Dalam hadits Muslim yang lain, Anas radliyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang berusia lanjut berjalan dituntun oleh kedua anaknya. Lalu beliau bertanya, “Apa gerangan yang terjadi pada orang tua ini?” Jawab mereka, “Dia bernadzar akan melakukan (ibadah haji) dengan berjalan kaki.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan seseorang untuk menyiksa dirinya.”
Lalu kepada orang tua itu, beliau perintahkan supaya naik kendaraan.
Jadi, menunaikan nadzar orang tua merupakan satu bentuk bakti kepadanya. Namun, jika orang tua bernadzar dalam hal maksiat, maka tidak perlu dipenuhi oleh anaknya.

Durhaka kepada Ibu-Bapak Termasuk Dosa
Durhaka kepada kedua orang tua (‘uqulul-walidain) adalah lawan dari birrul-walidain. Durhaka kepada orang tua merupakan perbuatan yang terkutuk, bahkan menduduki peringkat teratas dalam deretan dosa-dosa besar setelah syirik kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyegerakan hukuman bagi pendurhaka kepada orang tua, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Yang termasuk ‘uqulul-walidain adalah menghardik keduanya, atau salah satu dari keduanya, menghinakannya, membelalakkan mata kepadanya, tidak mematuhi perintahnya yan gma’ruf, menyaktinya baik dengan kata-kata maupun menganiaya secara fisik dan lain-lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maukah kalian aku tunjukkan perbuatan dosa-dosa besar?” Para sahabat mengatakan, “Ya, mau.” Beliau bersabda, “(Yaitu) syirik kepada Allah dan ‘uqulul-walidain....” (H.R. Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallahu’anhu.
Umar Ibnul Khaththab radliyallahu’anhu pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Pernahkah kalian melihat pezina, pencuri, peminum minuman keras; dan bagaimana pendapat kalian terhadap perkara itu?” Selanjutnya beliau bersabda, “Perbuatan itu sangat keji, dan akan mendapat hukuman yang berat. Maukah kalian aku beri tahu dosa besar yang lebih besar lagi? (Yaitu) syirik kepada Allah, lalu beliau membaca “Barang siapa menyekutukan Allah, makasesungguhnya ia telah melakukan dosa yang besar.” (An-Nisa’:48) dan durhaka kepada kedua orang tua, lalu beliau membaca “Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu, dan hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Lukman:14). (H.R. Thabrani, dalam Al-Kabir)
‘Abdullah bin ‘Amru Ibnul ‘ash radliyallahu’anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dosa besar itu ialah menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh orang tanpa alasan yang benar, dan sumpah palsu untuk mendapatkan harta orang secara tidak sah.” (H.R. Bukhari)

Mendurhakai Ibu-Bapak adalah Terkutuk
Banyak hadits yang menyebutkan tentang kutukan Allah, diantaranya adalah tentang orang yang mendurhakai kedua orang tuanya, atau salah satu dari mereka. Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu meriwayatkan, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah mengutuk orangyang memotong hewan tidak karena Allah, merubah atau menghilangkan tanda/batas tanah, dan memaki-maki atau mengumpat ibu bapaknya.” (H.R. Ibnu Hibban dalam Shahihnya).
Dari Mu’adz radliyallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan sepuluh pesan kepadaku, yaitu:
‘Janganlah syirik kepada Allah, sekalipun kamu harus dibunuh atau dibakar.’ (2) ‘Janganlah durhaka kepada orang tuamu, sekalipun keduanya memerintahmu keluar dari keluargamudan hartamu.’ (3) ‘Janganlah sekali-kali meninggalkan shalat maktubah (lima waktu yang wajib) secara sengaja. Sebab, siapa yang meninggalkan shalat secara sengaja, maka dia terlepas dari perlindungan Allah.’ (4) ‘Janganlah sekali-kali meminum khamr, sebab khamr merupakan sumber segala bentuk kekejian.’ (5) ‘Jangan melakukan maksiat, sebab maksiat itu bisa mengundang murka Allah.’ (6) Jangan lari dari medan perang, sekalipun manusia bisa musnah.’ (7) ‘Jika maut menimpa manusia, sementara kamu berada ditengah-tengah mereka, maka teguhkanlah (hati)mu.’ (8) ‘Berikanlah nafkah kepada keluargamu dari rezeki (yang Allah anugerahkan) kepadamu.’ (9) ‘Hindarkan pemukulan, walau dalam rangka mendidik.’ (10) ‘Buatlah mereka (keluargamu) takut karena Allah.’” (H.R Ahmad; Ibnu Majah; dan Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad)

Mendurhakai Ibu-Bapak, Haram Masuk Surga
Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu’anhu, bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada tiga golongan yang tidak masuk surga, yaitu: (1) Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya. (2) Orang yang durhaka kepada orang tuanya. (2) Orang yang kecanduan minuman keras. (3) Dayyuts (Suami yang membiarkan istrinya digauli orang lain, atau membiarkannya berlaku serong/keji).” (H.R. Ahmad dan Nasa’i)
Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada empat golongan yan gdivonis Allah tidak akan masuk surga dan tidak akan mencicipi kenikmatannya, yaitu: (1) Pecandu minuman keras. (2) Pemakan Riba. (3) Pemakan harta anak yatim secara batil. (4) Pendurhaka kepada orang tuanya.” (H.R. Hakim)
Ali bin Abu Thalib radliyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jangan lah durhaka kepada orang tuamu (ibu-bapakmu). Sesungguhnya bau surga itu tercium wanginya dari jarak 1000 tahun. Namun, bagi anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, orang yang memutuskan silaturrahmi, orang tua yang berzina, dan orang yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, mereka semua itu tidak akan mencium bau surga.” (H.R. Ad-Dailami)

Mendurhakai Ibu-Bapak, Balasannya Segera
Abu Bakrah radliyallahu’anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah berkenan menunda (hukuman) dari dosa-dosa sesuai yang dikehendaki-Nya hingga hari kiamat, kecuali dosa anak durhaka kepada ibu-bapaknya. Dan Allah akan mempercepat (menyegerakan) hukumannya di dunia ini sebelum dia meninggal.” (H.R. Bukhari, dalam Al-Adabul-Mufrad)
Ummul mu’minin ‘Aisyah radliyallahu’anha pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kebaikan yang paling cepat mendapatkan pahala ialah birrul-walidain dan memelihara hubungan baik dengan keluarga. Sedangkan kejahatan yang paling cepat mendapatkan siksa ialah kejahatan terhadap orang tua dan memutuskan hubungan keluarga.” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Durhaka, Memelototi Ibu-Bapak
Ummul Mu’minin ‘Aisyah radliyallahu’anha mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya anak yang membelalakkan matanya kepada kedua orang tuanya termasuk anak yang tidak berbakti.” (H.R. Baihaqi dan Ibnu Mardawaih)

Durhaka, Membuat Sedih Ibu-Bapak
Ummul Mu’minin ‘Aisyah radliyallahu’anha mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Sesungguhnya anak yang membelalakkan matanya kepada kedua orang tuanya termasuk anak yang tidak berbakti.” (H.R. Baihaqi dan Ibnu Mardawaih)
Ibnu ’Umar radliyallahu’anhu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perbuatan seorang anak yang menyebabkan tangis kedua orang tuanya adalah salah satu bentuk kedurhakaan kepada keduanya.” (H.R. Bukhari, dalam Al-Adabul-Mufrad)
‘Ali bin Abu Thalib radliyallahu’anhu pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Siapa yang membuat orang tanya sedih, maka ia telah durhaka kepada keduanya.” (H.R. Bukhari, dalam Al-Adabul-Mufrad)

Durhaka, Memukul Ibu-Bapak
Anas radliyallahu’anhu menerangkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ada tujuh golongan oran gyang tidak akan diperhatikan Allah pada hari kiamat, dipisahkan secara tersendiri dari kelompok lainnya, lalu mereka dimasukkan ke neraka pertama kali; kecuali bagi mereka yang bertaubat, maka Allah berkenan mengampuni mereka (ketujuh golongan tersebut), yaitu: Oran gyan gmelakukan masturbasi, pecandu minuman keras, pemukul ibu-bapaknya sehingga keduanya meminta pertolongan, dan orang yang berzina dengan istri tetangganya.” (H.R. Baihaqi dalam Syu’abil-Iman)

Durhaka, Merusak Hubungan Persaudaraan dengan Sahabat Ibu-Bapak
Dari Ibu ‘Umar radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Peliharalah kekasih ayahmu (sahabat orang tuamu), jangan kau putuskan, jangan sampai Allah memadamkan cahayamu.” (H.R. Bukhari, dalam Al-Adabul-Mufrad)

0 komentar:

Posting Komentar

Daftar Artikel

Loading...